Peneliti Sebut Bahasa Enggano Diambang Kepunahan
“Perlu adanya guru-guru yang mau untuk menjadi guru bahasa daerah. Sayangnya, banyak orang yang menggunakan bahasa daerah tidak mengetahui tata bahasanya,” tegas Prof. Heddy.
Prof. Heddy menambahkan bahwa buku pelajaran bahasa daerah perlu dikembangkan dengan komprehensif. Memiliki 700 bahasa daerah berarti kita membutuhkan banyak guru yang mampu mengajarkan bahasa-bahasa ini. Namun, masih sedikit orang yang menguasai tata bahasa daerah secara mendalam.
Salah satu solusi yang ia usulkan adalah mendirikan museum bahasa, tempat orang bisa belajar dan mendengarkan percakapan dalam bahasa daerah. Selain itu, kita juga bisa memanfaatkan ethnoscience untuk memperkaya pengetahuan tentang bahasa-bahasa ini.
Sementara itu, Produser Film dokumenter Senja Kala Bahasa Enggano, Dr. Hatma Suryatmojo mengatakan, pihaknya membuat film dokumenter karena saat ini terdapat banyak cara untuk menyampaikan pesan penting kepada publik, salah satunya melalui media audiovisual. Video dokumenter, khususnya, menjadi pilihan yang sangat relevan, terutama bagi generasi muda yang lebih menyukai konten dalam bentuk visual.
Dalam film dokumenter tersebut, digambarkan bahwa Bahasa Enggano saat ini berada dalam kondisi kritis, dengan jumlah penuturnya yang kian menurun. Hal itu disampaikan oleh ketua suku, atau yang dikenal sebagai Papuki di Enggano.
Ia mencatat bahwa orang tua di komunitas ini lebih sering menggunakan bahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari, sehingga anak-anak mereka jarang terpapar bahasa Enggano.
“Dari sudut pandang ini, film dokumenter tentang bahasa Enggano bukan hanya berfungsi sebagai sarana untuk mengedukasi, tetapi juga sebagai alat untuk memperjuangkan pelestarian budaya dan bahasa yang tengah terancam punah,” pungkas Dr. Hatma yang juga menjabat sebagai Direktur Kajian dan Inovasi Akademik UGM.
Editor: Emhade Dahlan