Peneliti Sebut Bahasa Enggano Diambang Kepunahan
MAGENTA -- Pulau Enggano merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Pulau seluas 400,6 kilometer persegi ini terdiri dari enam desa yaitu Desa Banjarsari, Meok, Apoho, Malakoni, Kaana, dan Kahyapu. Sensus Penduduk tahun 2020 menyebut jumlah penduduk Enggano berjumlah 4.035 jiwa.
Penduduk asli Pulau Enggano terdiri dari Suku Kauno, Suku Kaahoao, Suku Kaharuba, Suku Kaitaro, Suku Kaaruhi, dan Suku Kaamay. Semuanya berbahasa sama, yaitu bahasa Enggano. Namun, saat ini bahasa Enggano terancam punah.
Hal tersebut terungkap dalam Talk Show bertema 'Sinergi dan Aksi dalam Upaya Preservasi Bahasa Daerah' dan screening film Senja Kala Bahasa Enggano di Auditorium Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya UGM, pada Rabu (23/10/2024).
Menurut peneliti bahasa Enggano dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Wening Udasmoro, bahasa Enggano semakin rentan punah lantaran hanya sekitar 30 persen dari penutur suku Enggano yang masih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
"Saya mengamati beberapa kepala suku di Enggano. Ironisnya, mereka sama sekali tidak mengenali bahasa Enggano yang telah dituliskan oleh orang asing. Hal ini menunjukkan bahwa pengucapan dan pelafalan bahasa Enggano sangat berbeda dari bahasa lainnya secara umum,” terang Prof. Wening dikutip dari ugm.ac.id.
Senada dengan Prof. Wening, Ahli Bahasa dari FIB UGM Dr. Aprillia Firmonasari mengakatan, bahasa Enggano sendiri mengalami ancaman serius, dengan jumlah penutur yang semakin berkurang. Meski belum pernah ke Enggano, Aprilia mengatakan pernah membimbing mahasiswa untuk melakukan penelitian mengenai kepunahan bahasa ini.
Kemudian, ia mengutip data terbaru dari Summer Institute of Linguistics (SIL) menunjukkan bahwa ada sebelas bahasa yang terancam punah di Indonesia, dan hilangnya satu bahasa berarti hilangnya warisan budaya yang tak ternilai. “Sehingga mungkin ada perlu usaha-usaha preservasi bahasa agar bahasa-bahasa yang terancam punah itu bisa kita lakukan strateginya,” tuturnya.
Menanggapi bakal lenyapnya bahasa Enggano dan beberapa bahasa lainnya, Antropolog UGM Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra menekankan perlu adanya strategi untuk menghadapi situasi dimana bahasa daerah harus diajarkan secara sistematis di sekolah.