Saking Melaratnya, Sukarno Kecil tak Mampu Beli Petasan di Hari Lebaran
MAGENTA -- Saking melaratnya kehidupan Sukarno kecil, ia tak mampu membeli petasan yang harganya cuma satu sen. Padahal, bagi anak-anak seusianya menyundut petasan di hari Lebaran menjadi ritual menyenangkan yang wajib dilakukan.
"Semua anak-anak melakukannya sekarang dan di waktu itu pun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku. Di hari Lebaran lebih setengah abad yang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar tidurku yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat tidur," tulis Cindy Adams dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Kisah sedih ini dialami Sukarno saat berusia enam tahun. Sukarno baru pindah ke Mojokerto.
.
.
Sukarno dan kakak perempuannya yang bernama Sukarmini tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangganya tidak berbeda dengan keadaan keluarganya. Saat itu, Sukarno dan keluarga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Jika makan, itupun hanya ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain.
Orang tua Sukarno tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi ibunya mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinya menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar.
"Gaji bapak 25 franc sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 franc dan dengan perbandingan kurs pemerintah 3,60 franc untuk satu dolar dapatlah dikira-kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami," cerita Sukarno kepada Cindy Adam dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abdul Bar Salim itu.
BACA JUGA: Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah