Asal-usul THR: Dulu Hanya untuk PNS, Kini Semua Pekerja Terima
Rupanya pemberian THR saban mau Lebaran kepada pamong praja mendapat protes dari buruh. Melalui Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), buruh menggelar demonstrasi dengan tuntutan agar ada keadilan dalam pemberian THR.
Akhirnya, pemerintah mengakomodir permintaaan buruh lewat Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954 yang ditandatangani Menteri Perburuhan S.M Abidin. Menurut Surat Edaran tersebut, besaran THR untuk pekerja swasta adalah seperduabelas dari gaji yang diterima dalam satu tahun. Saat itu, jumlah THR yang dibayarkan sekurang-kurangnya adalah Rp 50-Rp 300.
Dalam perjalanannya, banyak perusahaan swasta yang tidak menggubris Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954 tersebut karena surat edaran yang diterbitkan hanya bersifat imbauan. Para pengusaha saat itu menganggap THR sebagai tunjangan pegawai hanya sukarela. Kemudian, melalui menteri perburuhan Ahem Erningpraja pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961.
THR diatur secara resmi pada 1994 sehingga hukumnya menjadi wajib. Abdul Latief yang menjadi menteri tenaga kerja saat itu (1993-1998) menandatangi aturan THR. Skema THR secara lugas diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi pekerja swasta. Di masa kepemimpinannya, UMR dan THR menjadi akrab di telinga pekerja dan majikan hingga disepakati bersama untuk dilaksanakan.
Sebelum kehadiran Abdul Latief, pemberian THR dianggap sebagai tindakan belas kasihan saja dari majikan kepada buruh tanpa payung hukum yang jelas. Karenanya, THR boleh ada dan boleh juga tidak ada. Dalam pandangan Abdul Latief, THR dimaksudkan untuk mengangkat harkat martabat dan derajat tenaga kerja. Kebijakan itulah yang kemudian menjadi cikal-bakal kebijakan THR hingga saat ini.
Baca juga: Polri Gelar Mudik Gratis 2023, Cek Jadwal dan Syarat Daftarnya