Lebaran Sebentar Lagi, Bagaimana Hukum Jual Beli Uang Baru?
MAGENTA -- Lebaran sebentar lagi. Bagi anak-anak selain soal baju baru, Lebaran adalah memburu uang baru.
Biasanya mereka akan memburunya dengan cara berkeliling dari rumah ke rumah tempat tinggalnya, mendatangi om dan tantenya, menyalami kakek-neneknya dengan harapan mendulang lembaran-lembaran uang baru.
Lalu, bagaimana cara mendapatkan uang baru yang masih mengkilat serta berurutan nomor serinya? Ada yang langsung menukarkan di bank, dan ada juga yang menukarkan melalui jasa penukaran uang baru yang menjamur di pinggir jalan menjelang Lebaran.
Jika menukarkan di bank, uang yang ditukar tidak akan berkurang dan atau tidak ada pembayaran uang jasa. Namun, jika menukarkannya di pinggir jalan akan ada uang jasa penukaran. Ambil misal, uang receh seribuan sejumlah 100 ribu rupiah ditukar dengan uang besar 110 ribu rupiah, yang terdiri dari seratus ribuan dan sepuluh ribuan.
Bagaimana hukum kelebihan 10 ribu rupiah tersebut? Bolehkah dianggap sebagai uang jasa dari makelaran atau dijadikan laba sebagaimana lazimnya perdagangan?
Merangkum buku Fiqih Kontemporer: Kupas 111 Isu Terbaru dalam Hukum Islam yang ditulis oleh Prof. K.H. Ahmad Zahro terbitan PT Qaf Media Kreativa, masalah tukar-menukar atau jual-beli uang yang sama jenisnya ini (sesama rupiah) tidak terlepas dari pembahasan tentang ribal fadhli (riba karena kelebihan).
Menurut fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Hanabilah bahwa ribal fadhli itu hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta.
"Jika yang dijadikan ukuran adalah nilai harta, maka kelebihan yang ada tidak termasuk ribal fadhli. Misalnya, seekor sapi yang lebih kecil ditukar dengan seekor sapi yang lebih besar (mungkin karena perbedaan jenis kelamin atau rasnya, sehingga mau ditukar), maka kelebihan dalam tukar-menukar seperti ini tidak termasuk ribal, tidak diharamkan" tulis Ahmad Zahro dalam bukunya.
Baca juga: Ngeyel, Soeharto Ogah Pakai Rompi Antipeluru Saat Kunjungi Bosnia pada 1995