Home > History

On This Day: 10 April 1815 Gunung Tambora Meletus, Mengubah Iklim Dunia

Debu vulkanis yang menetap di atmosfer selama dua tahun mengadang sinar matahari ke bumi.
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Foto: tamboratrek.com
Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Foto: tamboratrek.com

MAGENTA -- Hari ini, 210 tahun lalu Gunung Tambora meletus dahsyat. Gunung yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu memuntahkan sekitar 140 miliar ton magma pada 10 April 1815.

Letusannya menelan korban jiwa sedikitnya 71 ribu orang dengan 11 ribu hingga 12 ribu orang merupakan korban langsung dari letusan. Sebelum meletus, ketinggian gunung Tambora dimanfaatkan pelaut Portugis sebagai rambu-rambu navigasi laut ketika mereka melintas Sumbawa dalam perjalanan lautnya menuju Banda. Di abad 17, gunung Tambora yang menjulang tinggi mereka sebut Aram.

Vulkanolog Newman van Padang menyebut Tambora pernah menyandang status gunung strato tertinggi di Nusantara karena sebelum erupsi. Gunung Tambora tingginya 4.200 meter.

Melalui citra satelit kini dapat dilihat jelas lingkar kaldera yang berdiameter tujuh-delapan kilometer dan dalamnya mencapai satu kilometer bekas letusan. Kini Tambora menyisakan puncak tertinggi kurang lebih 2.730 meter.

BACA JUGA: On This Day: 1 Februari 2003 Pesawat Ulang-Alik Columbia Meledak, 7 Astronaut Tewas

Sonny C. Wibisono, dalam buku Bencana & Peradaban Tambora 1815 yang diterbitkan pada 2017, menuliskan sejak awal April, dentuman Tambora sudah terdengar dari berbagai penjuru kepulauan. Di Makassar dan Yogyakarta juga terdengar dentuman gema erupsi.

Penduduk mati kelaparan

Dua minggu setelah letusan, Kepala Letnan Gubernur Inggris Raffles mengirim seorang perwira Letnan Philip ke wilayah bencana untuk menyalurkan beras dan melakukan inspeksi ke Pulau Sumbawa. Philip melihat kehancuran dimana-mana. Philip juga menyaksikan banyak mayat bergelimpangan.

Banyak penduduk setempat yang sakit dan akhirnya mati kelaparan. “Perjalanan saya menuju bagian barat pulau, melewati hampir seluruh wilayah Dompo dan sebagian besar Bima. Penderitaan sangat memilukan, penduduk telah berkurang. Di sisi jalan beberapa mayat masih bergelimpangan. Banyak tanda-tanda tempat orang telah dikebumikan,” tulis Philip seperti dikutip dari buku Bencana & Peradaban Tambora 1815.

Penduduk yang masih hidup tersebar mencari makanan. Air minum yang tercemar abu tidak hanya membuat penduduk di Bima, Dompo, dan Sanggar terkena diare, kuda dan kerbau banyak yang mati.

BACA JUGA: On This Day: 21 Januari 1985, Bom Meledak di Candi Borobudur Hancurkan 9 Stupa dan 2 Patung Budha

× Image