On This Day: 10 April 1815, Gunung Tambora Meletus dan Mengubah Iklim Dunia
Dua Pekan Setelah Letusan Tambora, Penduduk Mati Kelaparan
Dua minggu setelah letusan, Kepala Letnan Gubernur Inggris Raffles mengirim seorang perwira Letnan Philip ke wilayah bencana untuk menyalurkan beras dan melakukan inspeksi ke Pulau Sumbawa. Philip melihat kehancuran dimana-mana. Philip juga menyaksikan banyak mayat bergelimpangan.
Banyak penduduk setempat yang sakit dan akhirnya mati kelaparan. “Perjalanan saya menuju bagian barat pulau, melewati hampir seluruh wilayah Dompo dan sebagian besar Bima. Penderitaan sangat memilukan, penduduk telah berkurang. Di sisi jalan beberapa mayat masih bergelimpangan. Banyak tanda-tanda tempat orang telah dikebumikan,” tulis Philip seperti dikutip dari buku Bencana & Peradaban Tambora 1815.
Penduduk yang masih hidup tersebar mencari makanan. Air minum yang tercemar abu tidak hanya membuat penduduk di Bima, Dompo, dan Sanggar terkena diare, kuda dan kerbau banyak yang mati.
.
.
Bukan itu saja, burung dan koloni lebah musnah karena hujan abu. Vegetasi pulau itu rusak parah. Kawasan hutan hancur dan semua sawah tertutupi abu. Akibatnya, padi di Sumbawa Timur tidak dapat dipanen sampai lima tahun .
Dampaknya, terjadi kelaparan besar di Sumbawa. Air bersih hampir tidak bisa ditemukan.
Kelaparan yang terjadi begitu serius sehingga orang terpaksa memakan daun kering dan umbi beracun. Ada yang terpaksa makan daging kuda.
Biasanya kuda tidak pernah dimakan karena mereka adalah aset ekonomi yang penting bagi orang Sumbawa. Makan kuda berarti menghancurkan ibu kota.
Tidak kuat bertahan hidup di Sumbawa, ribuan orang melarikan diri ke Jawa, Bali, Sulawesi Selatan, Makassar. Padahal, kebutuhan beras Pulau Bali dan Lombok setelah letusan Tambora dipasok dari pulau Jawa.